Kadang-kadang manusia itu bersifat naif yang berlebihan dalam lingkungannya sendiri sehingga berdalih mencari tahu lapangan mutakhir yang diduga tiada signifikan. Mungkin aku juga terkancah dalam kumpulan orang semacam itu.

Malam ini, tenang menyapa bertemankan bayu mengisi relung waktu. Aku melayari hariku tanpa renggang dari gajet kecilku seraya memonitor kiriman e-mel yang berlabuh. Rupanya ada jemputan menyeru penaku menari bersama periwayatan Hamka. Aku bermonolog, siapa juga sosok yang bernama Hamka ini sebetulnya?

Aku menandai Hamka hanya pada dasarnya, iaitu selaku seorang penulis yang mencacah refleksi mindanya hingga melahirkan begitu banyak nashkah. Dan lembaran naskhahnya itu tiada pernah uzur ditelan waktu dalam pergerakan masyarakat hari ini. Setelah mencecah lembaran warsa ke 113 sebermula kelahiran beliau ke negeri fana ini, keberadaan Hamka juga tidak anjak kabur malah bayangannya mulai pekat tika bulan menyinari kegelapan.

Seingatku juga, buku-buku Hamka pernah mampir beberapa kali dalam ruangan daya fikirku saat aku bergelar siswi dan selaman pertamaku adalah di lautan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck. Cuma, baru saat ini kemahuanku terdetik lagi untuk berkenalan dengan Hamka sejak aku merasakan perlunya untuk aku ikut bicara dalam pusparagam karya buat melebar perspektif aku ketika menafsir roman kehidupan.

Lewat pembacaanku, seawal memucuk Hamka sudah mulai menyuratkan potensi dirinya ke arah pelbagai bidang termasuklah menempah posisinya menerusi aktiviti politik, keagamaan dan juga sastera seharusnya. 

Ada juga pasti banyak persona yang menghasilkan tulisan lebih asyik tentang Hamka. Jujur, setebalnya tiadalah terungkap buat aku melakar di ruangan maya ini sempena mengenang Hamka kerana aku mengenali Hamka lewat gaya penanya. Namun, ikhlas aku jiwakan di ruangan ini, upaya dan cara penulisan artikel aku tentang Hamka adalah lebih dekat ketika aku memetakan lenggokkan coretan persis Hamka. Seolah beliau sedang berbagi senyuman lalu berkata,

“ Ilmu mengarang itu diperdapat lantaran dipelajari; diketahui nahu dan saraf bahasa dan dibaca karangan punjangga-pujangga lain dan menirunya, bisa orang menjadi pengarang”

Biarlah terungkap di halaman 2021 ini perjalanan sasteranya masih segar dalam diri anak muda. Bahasa karya yang disulamkan Hamka sangat indah walau cuba menjelmakan kondisi marah. Jadi, izinkan aku menyiram bait kata dari Hamka agar ikut subur di mata yang kini sedang membaca.

“Cinta bukan melemahkan hati, bukan membawa putus asa, bukan menimbulkan tangis sedu sedan. Tetapi cinta menghidupkan pengharapan, menguatkan hati dalam perjuangan menempuh onak dan duri penghidupan”

HAMKA, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck

Nukilan,

Shaza Azlin,

Sarawak

Leave your vote

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

I agree to these terms.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.