Keadaan terpenjara, kaku dalam hubungan anak ibu bukanlah satu hal yang pantas berlaku ke atas mana-mana manusia. Kami berkesempatan menyinggah ke ruang pingitan penjara bebasmu. Aku sengaja duduk di atas katilmu dan berusaha memahami keadaanmu dahulu.

Memang dulunya kau terpenjara. Tetapi atas besarnya jiwa raga, akhirnya kau pula yang membebaskan manusia.

Pintu bilik pingitanmu nyata tinggi dan masih kukuh. Sejujurnya aku sendiri takut ketika berdepannya tadi. Jendelanya tampak kuat dan warnanya pucat sepucat empat tahun kau dikurung di dalamnya.

Ruang Pingitan Kartini

Menjengah ke ruangan kecil itu, yang paling menarik sekali pastilah meja kerjamu – tempat kau menumpahkan rasa, gembira baik duka kepada teman-teman persuratan meski tidak pernah bersua.

Ibu, aku juga penulis sepertimu. Kita berkongsi citra yang sama bahawa penulisan dan pendidikan ialah alat pembebasan. Aku membaca surat-suratmu, Ibu. Ia sarat dengan emosi, turun naiknya perasaan, persembahan dukacita hiba dan kebimbangan. 

Orang zaman aku selalu menyalahkan kalau perempuan itu sekadar terisi dengan perasaan dan mereka itu membawa perasaan dalam setiap sela kehidupan. Namun, aku sekalipun tidak pernah berduka menerima kenyataan tersebut. Tidaklah aku cuba hendak menyamaratakan keadaan aku dengan perempuan lain. Cuma tidak ada yang salah langsung menjadi manusia yang kaya emosi ketika orang lain tidak langsung hendak mempeduli.

Ibu, penjarakkan engkau dengan ibu kandungmu iaitu Yuk Ngasirah, aku tanggapi dengan jutaan penyesalan dan kedukaan. Tidak pernah aku inginkan Tuhan menjauhkan aku dengan Emak. Meskipun aku tidak selalu bersama Emak Sewaktu kecil dahulu, sekurang-kurangnya aku tidak pernah dihalang untuk mendekatinya.

Rasa sakit boleh terbangkit walau Emak cuma menyapu-nyapu lembut tangannya di tempat tersebut, belakang badan misalnya. Rasa takut boleh terangkut ketika Emak sudi meminjamkan bahu dan dadanya memelukku sekejap walau tanpa mengeluarkan sepatah kata pujukan.

Sebenarnya, kuasa apa yang diberikan Tuhan kepada Emak dan para ibu? Tangan mereka begitu ajaib. Menyejukkan saat kepanasan, meneduhkan di saat hujan.

Kita bisa gila Ibu, seandainya Emak di depan mata tetapi kita pula cuma boleh mengintai dari jendela penjara. Penjara adat! Adat busuk yang sanggup menarik kedekatan hubungan ibu dengan anak.

Kita bisa jadi bisu jika dialog sehari-harian bersama Abah dipaksa menjadi baku dan kaku. Perhubungan yang bisu dan kaku ini, cuma melahirkan anak yang berhati batu. Di masa depannya, dia cuma mahu bekerja, tetapi bukan menikmati kehidupan.

Adat apakah yang menghalang seorang anak bangsawan-priyayi untuk melepaskan rasa terhadap ayah-romo-nya sendiri? 

Kalau Ibu masih hidup hari ini, molek rasanya Ibu singgah membaca jurnal dan kajian bagaimana hubungan keibubapaan yang kaku memberi kesan buruk terhadap psikologi anak-anak.

Tidak Ibu, aku bukan hendak menyalahkan ibu ayahmu. Mereka mencintaimu dan engkau lebih lagi mencintai mereka. Yang hendak kita bincangkan di sini ialah adat busuk yang memusnahkan kemanusiaan dan kasih sayang.

Ibu, kku ke pantai dulu untuk menikmati tenggelamnya matahari dan mensabatkan kalau kita punya Tuhan Ar Rabbi – yang menerbitkan dan menenggelamkan siapa yang dimahu-Nya.

Sepertimu, alam juga sudi menjadi sahabat dan teman baikku. Sampai ketemu lagi Ibu Kartini.

Pantai Kartini, Jepara, Jawa Tengah

Mengenang Kartini sempena hari kelahiran beliau 21 April 1879.

Beliau meninggal dunia pada 17 September 1904.

Nukilan,

Wafi,

28 Oktober 2018, Pantai Kartini, Jepara, Jawa Tengah
#jejakkartini #kembarajejaktarbiah

Leave your vote

-1 Points
Upvote Downvote

Forgot password?

Enter your account data and we will send you a link to reset your password.

For security, use of Google's reCAPTCHA service is required which is subject to the Google Privacy Policy and Terms of Use.

I agree to these terms.

Your password reset link appears to be invalid or expired.

Log in

Privacy Policy

Add to Collection

No Collections

Here you'll find all collections you've created before.